JAKARTA - Kemacetan panjang yang terjadi di lintasan penyeberangan Ketapang–Gilimanuk baru-baru ini bukanlah disebabkan oleh cuaca ekstrem seperti yang sering diasumsikan. Justru, kendala utama berasal dari pengurangan jumlah kapal yang diizinkan beroperasi oleh pihak pelabuhan setelah dilakukan inspeksi teknis terhadap armada yang biasa melayani rute tersebut. Akibatnya, ribuan kendaraan terutama truk logistik harus mengantre panjang di kedua pelabuhan, menimbulkan protes dan keresahan di kalangan pengguna jasa.
Pemandangan antrean kendaraan sepanjang lebih dari dua kilometer bukan hanya terjadi di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, tetapi juga tampak memanjang hingga Pelabuhan Gilimanuk, Jembrana. Sejak dini hari, antrean sudah mulai terlihat dan berlanjut hingga malam. Sopir dan penumpang yang terdampak tidak bisa menyembunyikan kekesalannya, terlebih karena penumpukan tersebut menyebabkan keterlambatan distribusi logistik maupun perjalanan pribadi.
Sumber utama masalah ini adalah penurunan jumlah kapal yang melayani lintasan tersebut. Dari biasanya 28 kapal yang aktif, kini hanya tersisa 19 unit yang dapat beroperasi. General Manager PT ASDP Indonesia Ferry Cabang Ketapang, Yannes Kurniawan, membenarkan kondisi tersebut. Ia menyatakan bahwa pengurangan armada merupakan bentuk tindak lanjut dari rekomendasi regulator setelah dilakukan pemeriksaan teknis menyeluruh.
“Kami mohon maaf atas adanya permasalahan ini. Ini karena memang ada keterbatasan jumlah kapal yang beroperasi pasca rekomendasi dari regulator setelah dilakukan inspeksi dan perbaikan,” ujar Yannes melalui siaran pers.
Yannes juga menjelaskan bahwa hanya empat kapal eks Landing Craft Tank (LCT) yang diberikan izin untuk tetap berlayar, yakni KM Agung Samudra IX, KM Jambo VI, KM Liputan XII, dan KM Samudra Utama. Meski demikian, operasional kapal tersebut tetap dibatasi, dengan beban maksimal hanya 75 persen dari kapasitas normalnya. Selain itu, kapal-kapal ini tidak diperkenankan mengangkut penumpang pejalan kaki maupun kendaraan kecil. Prioritas utama diberikan pada truk angkutan barang.
Kebijakan tersebut dilakukan demi menjaga aspek keselamatan pelayaran dan memastikan kapal-kapal yang beroperasi benar-benar dalam kondisi layak. Sayangnya, dampaknya terhadap arus penyeberangan sangat signifikan. Dengan jumlah kapal yang berkurang dan pembatasan muatan, waktu tunggu menjadi lebih panjang. Hal ini mengakibatkan antrean kendaraan mengular di area pelabuhan dan menimbulkan keresahan pengguna jasa.
“Kami minta maaf atas ketidaknyamanan ini,” kata Yannes. Ia juga menyebutkan bahwa pihak ASDP telah berkoordinasi erat dengan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) serta instansi terkait lainnya dalam upaya mempercepat normalisasi layanan.
Untuk meminimalkan risiko di pelayaran, kendaraan yang hendak naik ke kapal juga harus menjalani proses penimbangan. Penempatan kendaraan di dalam kapal pun diatur lebih ketat guna menjaga keseimbangan kapal selama pelayaran.
Meski pengurangan jumlah kapal dilakukan demi alasan keselamatan, banyak sopir truk yang menyayangkan lambannya pemberitahuan terkait hal tersebut. “Kalau begini terus, distribusi barang kami bisa terganggu. Harusnya ada solusi lebih cepat,” ujar seorang sopir truk yang ikut mengantre lebih dari lima jam.
Antrean panjang dan waktu tunggu yang lama juga berpotensi menimbulkan efek domino, mulai dari keterlambatan pengiriman bahan pokok hingga terganggunya rantai pasok antardaerah. Beberapa pengusaha logistik bahkan mengeluhkan meningkatnya biaya operasional karena kendaraan harus menunggu berjam-jam, bahkan hingga sehari penuh.
Dari sisi pelayanan pelabuhan, petugas di lapangan berupaya mengarahkan arus kendaraan agar tetap tertib dan tidak menimbulkan kekacauan tambahan. Namun, keterbatasan jumlah kapal dan tingginya volume kendaraan membuat antrean sulit diurai dalam waktu cepat.
Kondisi ini juga menarik perhatian masyarakat luas yang memanfaatkan jalur penyeberangan Ketapang–Gilimanuk untuk berbagai kepentingan. Bagi warga yang biasa pulang pergi antar pulau, keterlambatan ini bukan hanya soal waktu, tapi juga menyangkut biaya tambahan dan ketidakpastian jadwal.
Pihak ASDP terus mengimbau pengguna jasa untuk bersabar dan tetap menjaga ketertiban selama menunggu giliran menyeberang. Mereka memastikan akan terus memonitor kondisi teknis armada agar kapal-kapal yang tidak memenuhi standar bisa segera diperbaiki dan kembali beroperasi.
“Kami berharap dalam waktu dekat lebih banyak kapal yang bisa dioperasikan kembali, sehingga antrean bisa terurai dan pelayanan kembali normal,” tutup Yannes.
Kisruh di lintasan Ketapang–Gilimanuk menjadi pengingat pentingnya kesiapan teknis armada dan manajemen pelabuhan dalam menghadapi lonjakan volume kendaraan. Apalagi jalur ini merupakan salah satu penghubung utama antara Pulau Jawa dan Bali, yang vital bagi arus logistik dan mobilitas masyarakat. Diperlukan solusi cepat dan berkelanjutan agar kejadian serupa tidak kembali terulang di masa mendatang.